Bagi kita-kita mahasiswa jurusan eksak, pasti udah nggak asing dengan yang namanya praktikum, atau istilah kerennya "ngelab". Kerjaan yang satu ini beratnya luar biasa, nggak tau bilang lah. Segala perumpamaan, ibarat, maupun peribahasa tak dapat melukiskan betapa ribetnya perjuangan melalui hari-hari berat praktikum ini. #halah!
Bayangkan, udah 35 bulan jadi mahasiswa, masiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiiih aja mesti ngelab. Mending juga kalo laboratoriumnya bagus, alat-alatnya lengkap, trus bisa bikin kita termotivasi untuk melakukan penelitian-penelitian yang bakalan bikin dunia akademik ini bertambah kinclong, #eaaaa.
Ini, udah laboratoriumnya sempit, tampilannya kusam, alat-alatnya pada rusak pula. Belum lagi semua aturan-aturannya yang bikin ribet bin susah, plus asisten-asisten laboratorium yang bikin hati cenat-cenut. Bukan karena demen saudara-saudara, tapi karena takut. Serem. Pokoknya, aura pada berubah deh kalo udah mulai ngelab.
Pedihnya di mana sih? Di mana-mana kawan, pedihnya di mana-mana. Biar tahu aja, praktikum ini cuma 1 sks lho, catat tuh, cuma 1 sks. Tapi seolah-olah kayak menanggung beban 5 sks. Bayangkan aja, sekali ngelab mesti bikin laporan praktikum yang seabrek-abrek, belum lagi pas hari H praktikum, nggak afdhal deh kalo nggak menyibuk luar biasa, lari turun naik tangga (kalo laboratoriumnya ada di lantai 2 atau lantai 3), nelpon atawa sms patner sekelompok nanyain laporan, nanya soal responsi kesana kemari, belum lagi kalo ada bahan yang ketinggalan, mesti kejar-kejaran balik ke kost, lompat-lompat di lapangan, manjat-manjat pohon, sampe ada yang guling-guling di tanah. (#wew! ini mau ngelab atau sedang kesurupan ya? :D)
Pokoknya kalo udah mulai ngelab, perang saudara bisa dengan gampang terpicu lah. Gimana nggak gitu, kita lagi ribet, eh temen malah tambah ngeribetin, pinjem ini itu lah, nitip ini itu lah, siapa yang nggak panas coba? Wuih, parah deh efek dari ngelab ini.
Lain lagi kalo sudah bicara nilai. Yang ini lebih krusial lagi. Jangan kaget kalo ternyata nilai kita di bawah teman yang lain cuma gara-gara sang asisten dekat dengan si teman itu. Sudah biasa itu. Lain lagi kalo kita bisa ngejawab semua pertanyaan, eh malah dikatain sok pinter. Ada gitu? Ada banget lah, kesini aja kalo nggak percaya. Hahaha.
Ampun nggak tuh? Ampun banget kan? Tapi begitulah keadaannya, kawan. Ah, nggak segitunya juga kok, berlebihan deh. Ada yang nggak setuju? Silahkan saudara-saudara, tapi setidaknya keadaan di "tempat" kami ya seperti ini. (Maaf, dilarang sebut merk instansi :D)
Ya, begitulah kenyataannya. Parah. Miris. Luar biasa. Esensi praktikum yang seharusnya adalah pendalaman pemahaman tentang teori yang diajarkan di kelas serta menambah pengalaman praktik, seketika berubah menjadi aktivitas jurnalistik yang tak tentu pasal. Lho, kok? Jelas lah. Kita tidak dituntut untuk paham tentang percobaan, hanya dituntut untuk menyelesaikan laporan selengkap-lengkapnya. Ya, cuma itu saja tuntutannya. Membuat jurnal sebagus-bagusnya. Jadi tentu aja nggak berlebihan kalo dibilang praktikum ini hanya aktivitas jurnalistik semata. Tidak lebih. Kurang iya. Hahaha.
Dan akhirnya, inilah kita. Calon-calon sarjana eksak yang pola pikirnya sama sekali nggak eksak. Kita yang seharusnya menghasilkan ide-ide penelitian-penelitian yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan, malah lebih berkonsentrasi mengerjakan laporan-laporan yang kalo udah selesai bahkan nggak lagi dibaca karena percobaannya juga udah nggak update. Menurutku, sumber penyimpangan ini cuma satu, tidak adanya alat-alat terbaru yang bisa menggugah selera kita-kita untuk praktikum dan meneliti. Kalo sudah gini, mesti minta tanggung jawab siapa ya? Bingung juga. Komplain ke asisten, mereka juga nggak punya kuasa memperbarui laboratorium dan membeli alat-alat baru. Ke Dekan? Sudah. Tapi masih gini-gini aja. Ke Rektor? Sudah. Nggak ada perubahan. Parah. Miris. Luar biasa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar