Beberapa hari ini aku memikirkan fakta unik tentang manusia. Selain senang berlomba-lomba untuk terlihat paling hebat, paling menawan, dan paling-paling yang enak lainnya, ternyata manusia juga senang berlomba-lomba untuk terlihat paling menderita, paling susah, paling menyedihkan. Loh kok? Iya. Ngga percaya? Kamu pernah ngga denger percakapan semacam ini,
"Bang, aku capek nih, kerjaan makin banyak tapi gaji engga naik-naik. Hidupku miris banget, yak."
"Kamu mah masih enak, gaji segitu masih cukup karena masih sendiri. Lah aku, cicilan banyak, gaji pas-pasan, harus nafkahi anak istri pula."
"Ya tapi kan tetep aja, Bang. Abang masih enak, pulang kerja ada anak istri di rumah. Seneng. Kalo aku, pulang kerja yan nyambut pakaian kotor. Hiks!"
Atau yang begini,
"Makanya, jadi mahasiswa tuh gaul dikit, cari relasi. Jangan cuma muter-muter sekitar perpustakaan ngerjain tugas."
"Lah, Mas enak bisa ngomong gitu. Kalo kuliah master by coursework ya cuma bisa muter-muter sekitar perpus doang ngerjain tugas. Kalo semisal master by research atau PhD mah enak. Bisa libur nya kapan-kapan."
"Justru enakan kuliah master by coursework, kamu masih punya libur. Kamu sih engga ngerasain kuliah master by research, kagak ada libur. Liburnya pas riset udah kelar."
Dan banyak percakapan bernada serupa lainnya.
Nah, sekarang udah percaya kan kalo ternyata spesies yang namanya manusia ini ternyata juga senang terlihat paling susah dan menyedihkan. Tapi aku punya analisis untuk hal ini. Aku suka mengamati orang. Mendengarkan mereka berbicara walau kadang membosankan, haha. Dan aku sampai pada kesimpulan -entah ini benar atau engga-, tapi menurutku, beberapa motif orang berlomba-lomba terlihat paling susah, adalah untuk membangun kesan paling hebat pada lawan bicaranya. Ha? Apa lagi ini? Haha, sabar. Aku jelasin. Saat seseorang merespon cerita orang lain dengan nada bahwa ia lebih susah, menandakan iya ingin agar lawan bicaranya mengakui bahwa ia, yang keadaannya saja lebih susah, masih baik-baik saja. Ia hebat.
"Kesusahan kamu belum ada apa-apanya dibanding saya. Jadi jangan cengeng. Saya aja masih baik-baik aja kok. Liat, nih."
Kira-kira begitu.
Aku punya temen yang seneng banget cerita tentang kesusahannya. Yang paling nyebelin menurutku, saat orang lain sedang ceritain deritanya, dia langsung nyambung dan cerita bahwa dia lebih menderita. Apaan sih, pikirku. Seolah-olah dia mau bilang, derita kalian belum apa-apa dibanding deritaku. Dan ujung-ujungnya dia "meninggi". Haha. Lucu aja, sekaligus nyebelin.
Tapi, analisis ini jelas engga bisa digeneralisasi ke semua orang. Beberapa orang mungkin punya motif lain, yang aku juga ngga tau apa. Haha. Yang pasti, sebisa mungkin hindarilah menjadi orang yang ngga mau kalah, baik dalam hal paling-paling yang enak, maupun dalam hal paling-paling yang susah. Intinya, ngapain juga kita mesti ribut ngasih tau ke orang-orang kalo kita tuh lebih susah dari mereka. Mereka juga (mungkin) engga peduli. Kalo ada orang yang cerita kesusahannya ke kita, semangatin aja. Ngga perlu 'diserang' balik dengan kesusahan kita. Walaupun kadang-kadang spontan aja gitu ya, hehe. Aku juga gitu kok kadang-kadang. Makanya tulisan ini dibuat, lebih untuk ngingetin diri sendiri daripada orang lain. Kalo orang lain ikut tersadarkan, ya Alhamdulillah.
Udah ah, intinya "Don't rich people difficult!", alias "Jangan kayak orang susah!" :p :p :p
Tidak ada komentar:
Posting Komentar