Selalu ada beda antara YAKIN dan NAIF
Yakin adalah semangat hati; yang membersamai kebenaran
Sedang naif adalah hawa nafsu; yang dicarikan pembenaran
- Salim A. Fillah -
Saat semua orang bertanya, "Gimana, betah kah tinggal di sana?" Jawabku, "Betah, Alhamdulillah. Satu-satunya yang buat tak betah adalah aku harus berada di jurusan ini lagi." Tapi kalimat terakhir itu biasanya hanya aku lanjutkan dalam hati, sambil menghela napas, dalam-dalam.
Ya, aku kembali jadi mahasiswa, di jurusan yang sama, Fisika. Tempat yang sebenarnya tak aku sukai. Aku tak ingin menyalahkan siapapun. Sebab sejauh ini satu-satunya yang salah adalah aku. Setelah 4 tahun menjadi mahasiswa Fisika, aku bahkan tak mampu menyukainya sedikitpun. Bahkan menurut hematku, aku kehilangan banyak hal (terutama dalam hal kemampuan akademik) selama aku menjalani peran sebagai mahasiswa Fisika. Aku juga tak tahu apa sebabnya, tapi jujur saja, aku merasa kuliahku 4 tahun ini hanya menghasilkan ijazah. Tak lebih, banyak kurangnya.
"Kayaknya gue makin bego deh,"
Aku juga tak tahu pasti apa yang menyebabkan begitu "sia-sia" rasanya aku berada di Fisika. Sekali lagi aku tak mau menyalahkan siapapun. Ini salahku sebab setelah sekian lama aku masih juga tak mampu menghadirkan hati dan tetap tak mampu menyukainya sedikitpun. Kurasa hal inilah yang menyebabkan aku jadi tak mampu memahaminya (kecuali sedikit sekali), sebab aku tak suka, aku tak mau tau. Dan inilah yang jadi akar masalah sesampainya aku di sini, di sekolah baru, yang aku masuki sebagai mahasiswa Fisika (lagi).
Saat aku masuk di kelas pertamaku sebagai mahasiswa pascasarjana, aku benar-benar kaget. Sebab matakuliah wajibnya bukan bidangku (bidangku fisika material, sedangkan matakuliah wajib di sini adalah fisika teoritis). Ya, aku benar-benar buntu saat itu. Gimana bisa aku mengikuti pelajaran yang dasarnya saja aku kabur?
"Terus kenapa lu ngedaftar di jurusan Fisika?"
Lagi-lagi ini semua kesalahanku, kenapa tak dari awal aku berpikir untuk putar haluan mencari jurusan yang pas untukku. Ya, tadinya aku hanya berpikir untuk meneruskan study field yang sama agar linear, jadi lebih gampang untuk mencari kerjaan kelak.
Dan sekarang, aku sedang dalam posisi dilema. Aku ingin pindah dari jurusan ini, tapi apa aku yakin mampu bertahan di jurusan lain? Apa aku ingin pindah karena benar-benar ingin menemukan yang aku inginkan, atau hanya ingin lari dari hal yang tak mampu aku lakukan? Entahlah, aku juga bingung. Kadang aku juga berpikir, apa aku tak bersyukur dengan berbuat begini? Atau aku tak cukup ikhlas menerima takdir? Banyak teman yang menasehatiku untuk bertahan, mereka bilang, "Allah meletakkanmu di situ karena Dia tau kau mampu, Win!" Dan lantas aku sambut dalam hati, "Ya, aku tau, karena Allah tau aku mampu meng-handle situasi ini, tapi itu tidak berarti mutlak aku harus tetap di sini." Aku pernah membaca kisah Amirul Mukminin, Umar Ibn Al Khattab, yang dituduh mengingkari takdir Allah saat ia tak jadi pergi ke suatu tempat sebab tempat itu sedang terjangkiti penyakit menular. Dan kalian tau apa jawabnya atas tuduhan itu? Kata Umar, "Aku memang pergi dari takdir Allah, tapi untuk menuju takdir-Nya yang lain".
Mungkin bagi sebagian orang ini adalah hal yang tak perlu dilakukan, bertahan lebih baik, kata mereka. Tapi bagiku, aku ingin menikmati hidupku dengan melakukan apa yang aku ingin, dengan pilihan yang aku sukai. Aku masih terus istikharah untuk minta petunjuk Allah atas perihal ini, lalu kemudian putuskan yang terbaik. Semoga nanti aku punya keputusan yang benar-benar yakin, bukan sekedar keputusan yang naif, insyaa Allah.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar